Senin, 11 Mei 2009

TELAAH EPISTEMOLOGIS

terhadap

PROPOSAL TESIS:

Tinjauan Kritis Transformasi Arsitektur Tolaki

Studi Kasus Bangunan Umum/Publik di Kota Kendari


Tesis ini berusaha mengkaji konsep transformasi yang terjadi pada arsitektur Tolaki dan dengan penerapannya pada bangunan masa kini di Kota Kendari. Dalam penelitian ini akan mengkaji fenomena yang terjadi pada arsitektur Tolaki yang banyak pula dialami oleh arsitektur klasik di Indonesia. Konteks penelitian yang banyak menyentuh fenomena empiris akan dibataskan pada tampilan visual dari obyek penelitian. Hal ini semata-mata agar kajian keilmuan dalam menjawab permasalahan tidak bersifat subyektif dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan.

Dalam penelusurannya, perlu adanya pertanggungjawaban acuan mengenai arsitektur Tolaki karena wujud dari arsitektur tolaki sendiri telah mengalami kepunahan. Beberapa penelitian sebelumnya telah berusaha mengungkap arsitektur Tolaki dengan merekonstruksi keberadaan rumah adat/tradisionalnya. Namun kajian dalam penelitian tersebut ditengarai berbau penelitian antropologis karena menempatkan kajian arsitektur sebagai sub-keilmuan didalam prosesnya. Kajian tersebut hanya menggali informasi dari saksi hidup yang pernah tinggal/merasakan/melihat rumah adat etnis Tolaki.

Oleh karena itu, dalam penelitian ini sekaligus disertakan kajian yang menelaah keberadaan arsitektur Tolaki dari sudut pandang keilmuan arsitektur dengan melakukan penjelajahan terhadap arsitektur etnis lain disekitar arsitektur Tolaki. Penelusuran ini menempatkan kajian antropologis sebagai tinjauan dasar kemudian menyelidiki fenomena keterkaitan antara arsitektur Tolaki dengan arsitektur etnis disekitarnya dengan melihat asal muasal hingga pola berkehidupan masyarakatnya. Hasil dari kajian ini akan turut melengkapi tinjauan terhadap penelitian lain untuk disandingkan sebagai acuan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan dalam bidang keilmuan arsitektur.

Dalam penelitian ini, paradigma keilmuan yang digunakan adalah paradigma normatif-naturalistik. Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan yang berkaitan dengan karakteristik penelitian. Pertimbangannya adalah bahwa fenomena transformasi pada arsitektur Tolaki yang akan diteliti merupakan fenomena yang kompleks, sehingga tidak dapat dipahami hanya melalui hubungan sebab-akibat yang linier dan universal. Selain itu, terdapat realitas majemuk yang tidak dapat digeneralisasi hanya dengan mengetahui salah satu atau beberapa bagian dari realita yang ada. Karenanya, dibutuhkan penelitian yang mendalam terhadap obyek penelitian.

Perlunya paradigma normatif[1] merupakan jalan untuk menjembatani kajian yang banyak menyentuh aspek fenomenologis ini sehingga dalam penjabarannya memerlukan dasar tinjauan[2] dari penelitian-penelitian lain yang terkait. Penelitian-penelitian[3] yang telah disintesakan kemudian disejajarkan/disandingkan untuk melihat kedalaman telaah penelitian ini sebagai parameter sejauh mana kajian keilmuan dalam penelitian ini dapat dibuktikan dan dipertanggungjawabkan.

Lebih jauh, hasil dari penelitian ini juga tidak dapat serta merta dikuantifikasi, melainkan harus dijelaskan secara deskriptif dan kualitatif. Penjelasan dengan metode kuantitatif dikhawatirkan akan mereduksi esensi dasar penelitian ke dalam angka-angka yang tidak cukup representatif terhadap fenomena yang akan dijelaskan. Keanekaragaman yang bisa jadi ditemui dalam proses penelitian menuntut adanya penjelasan yang komprehensif, sehingga metode penelitian kualitatif dianggap lebih sesuai untuk penelitian ini.

Di dalam konteks penelitian ini, dasar-dasar pengetahuan menurut epistemologi berkaitan erat dengan teknik-teknik pengumpulan data dan metode penelitian. Sebagian besar pengetahuan di dalam penelitian ini akan diperoleh melalui persepsi, ingatan dan kesaksian. Oleh karenanya, teknik pengumpulan data yang akan digunakan juga berhubungan dengan saluran-saluran pengetahuan itu, yaitu observasi, sketsa, pemotretan dan wawancara. Pemilihan teknik-teknik ini didasari pertimbangan bahwa syarat dalam pengambilan data penelitian adalah instrumen yang valid dan reliable, serta pelaksana pengambilan data yang capable. Teknik pengambilan data ini dianggap cukup valid dan sesuai dengan jenis data yang dibutuhkan bagi penelitian ini. Selain itu, penggunaan teknik pemotretan dan sketsa dianggap dapat memperkuat keandalan data, dibandingkan hanya mengandalkan hasil pengamatan dan ingatan semata.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menemukan bagaimana konsep dan proses transformasi arsitektur Tolaki ke dalam wujud arsitektur masa kini di Kota Kendari. Dalam hal ini, hipotesis tidak dapat dilakukan tanpa melakukan serangkaian penelitian awal yang juga dilakukan melalui proses persepsi dan memori yang membentuk pengalaman empiris. Padahal, hipotesis biasanya dihasilkan melalui proses penalaran sebab – akibat yang rasional sehingga bersifat a priori. Pengetahuan dalam konteks penelitian ini dapat diperoleh setelah melakukan pengamatan empiris terhadap sampel-sampel penelitian. Oleh karenanya, bentuk pengetahuan pada penelitian ini adalah pengetahuan a posteriori, yaitu tanpa hipotesis sebagai perkiraan hasil akhir di awal penelitian.

Penelitian dilakukan dengan menggali penerapan prinsip-prinsip transformasi pada sampel-sampel penelitian. Dalam tahapan ini, jenis penalaran yang digunakan adalah deduktif, yaitu memperinci hal-hal yang khusus dari prinsip-prinsip yang general. Setelah itu, dari hasil penelitian terhadap sampel-sampel penelitian itu, kemudian ditarik suatu generalisasi atau kesimpulan akhir mengenai bagaimana proses transformasi arsitektur Tolaki ke dalam wujud kekiniannya di kota Kendari[4].

Di dalam penelitian ini, terdapat subyek dan obyek penelitian yang merupakan dua entitas yang terpisah satu sama lain. Subyek dari penelitian ini adalah konsep transformasi yang terkait dengan keilmuan arsitektur dan arsitektur Tolaki dalam konseptualisasinya. Konsep ini merupakan instrumen untuk meneliti obyek penelitian, yaitu bangunan umum/publik di Kota Kendari.

Jika dihubungkan dengan subyektivitas dan obyektivitas penelitian, maka diharapkan dengan penelitian ini dapat menjelaskan proses transformasi yang terjadi pada arsitektur Tolaki ke dalam bentuk kekiniannya sekaligus memaparkan keberadaan arsitektur Tolaki yang mungkin memiliki nilai-nilai subyektivitas sehingga memperoleh nilai obyektivitas yang lebih tinggi, karena diujikan kepada teori-teori transformasi arsitektural dan pada obyek-obyek nyata. Walaupun demikian, bukan berarti nilai subyektivitas yang terkandung dalam konsep ini tidak dapat dianggap sebagai tak relevan bagi penentuan kebenaran pengetahuan.

Jenis kebenaran yang diperoleh melalui penelitian ini adalah kebenaran faktual, yaitu kebenaran yang berdasarkan pengamatan indrawi, serta bersifat nisbi dan mentak[5]. Disebut sebagai kebenaran faktual, selain karena melalui proses pengamatan indrawi, juga karena hasil penelitian ini menambah khasanah pengetahuan kita di dunia. Selain itu, karena sifatnya yang tidak pernah mutlak, nilai kebenaran dari proses dan hasil penelitian ini hanya dapat diterima sebagai benar, sejauh belum terdapat alternatif lain yang menggugurkan nilai kebenarannya.

Selain bersifat faktual, kebenaran dalam penelitian ini juga merupakan kebenaran ilmiah, artinya kebenaran ini diperoleh melalui serangkaian prosedur yang dapat diterima oleh akal sehat. Selain itu, karena penelitian ini memiliki peran dan sumbangan dalam menghadapi kenyataan sebagai suatu masalah yang perlu dipecahkan, maka kebenarannya dikategorikan sebagai kebenaran ilmiah.

Dari penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa teori kebenaran yang sesuai dengan penelitian ini adalah teori kebenaran korespondensi. Teori kebenaran korespondensi mendasarkan diri pada adanya kesesuaian antara yang dinyatakan dalam ungkapan lisan atau tertulis dengan kenyataan sesungguhnya obyek yang dirujuk dalam pernyataan itu. Oleh karenanya, teori ini sesuai untuk jenis-jenis pernyataan empiris – faktual yang akan digunakan sebagai kesimpulan dari penelitian ini.

Aspek epistemologis yang juga sangat penting bagi suatu penelitian, adalah penegasan kebenaran pengetahuan. Penegasan putusan yang benar merupakan suatu tambahan dalam pengetahuan. Dalam konteks penelitian, hal ini berkaitan erat dengan cara pengambilan kesimpulan. Kesimpulan yang benar terkait erat dengan cara dan langkah yang benar dalam pengambilan kesimpulan.

Dalam hal ini, wawasan menjadi sesuatu yang sangat penting. Wawasan peneliti mengenai data yang dikumpulkan bisa saja menyelesaikan atau tidak menyelesaikan permasalahan yang menjadi pokok kajian. Untuk itulah, kajian teori dibutuhkan di dalam penelitian ini. Kajian teori berfungsi untuk memberikan kedudukan yang jelas temuan penelitian dalam domain yang lebih luas dalam literatur yang relevan, serta memberikan kontribusi dalam menambah, memperluas atau memperdalam khasanah pengetahuan yang ada. Dengan kajian teori ini, peneliti akan memperoleh wawasan yang lebih luas dan komprehensif, sehingga dapat melakukan penegasan kebenaran pengetahuan dengan cara yang benar.



[1] Penelitian ini diarahkan pada paradigma fondasional-koherenistik

[2] Dalam penelitian ini dilakukan tinjauan terhadap transformasi menurut Stevens (Reasoning Architect, 1990) dan disandingkan bersama pemahaman Stern (Modern Classicism, 1988) untuk mengetahui sejauh mana implementasi transformasi dalam hal pengklasikan pada bangunan masa kini di kota Kendari.

[3] Pemahaman transformasi menurut Stevens lebih dikembangkan melalui penyandingan pemahaman Antoniades, Broadbent, Frazer dan Prijotomo agar kajian keilmuannya lebih tersistematik dan lebih dapat dipertanggungjawabkan.

[4] Menjawab salah satu pertanyaan penelitian yakni; Teori transformasi apakah yang sesuai dengan proses transformasi tampilan visual (rupa) arsitektur Tolaki?

[5] Sudarminta, 2002

Selasa, 21 April 2009

Pentingkah arsitektur disandingkan dengan perilaku-lingkungan?


Brent C. Brolin dalam bukunya The Failure of Modern Architecture mengemukakan bahwa salah satu kesalahan terbesar sehingga langgam modern mengalami keruntuhan yakni tidak adanya harmonisasi dan asimilasi antara desain dengan konteksnya.

Modern architecture intentionally defies its older neighbors rather than standing beside them in peace. It tries to shock rather than symphatize. (Brolin, 1976:8)

Telah banyak contoh karya arsitektur yang gagal dalam menampung aspirasi dan apresiasi penggunanya. Brolin (1976:88-103) menceritakan secara detail mengapa karya sang maestro Le Corbu dapat tidak tepat guna di Chandigarh. Jika kita mencari melalui google lalu mengetik failure architecture pada kata kunci, maka akan muncul beberapa kilasan mengenai tragedi Pruitt Igoe. Tidak ada yang salah dengan karya-karya tersebut. Sang arsitek-lah yang seharusnya bertanggung jawab atas hasil penciptaannya.

Untuk meminimalisir terjadinya malpraktek tersebut, hendaknya perancang/arsitek mengerti terlebih dahulu konteks lingkungan yang akan ia rancang. Dan untuk mengerti/Tahu dengan ‘Benar’, pengetahuan tersebut terakomodasi dalam bidang psikologi lingkungan (Environmental Psychology/EP). Gifford (1987 dalam Gunther, 2009) mendefinisikan EP sebagai studi mengenai transaksi antara individu (manusia) dengan setting fisiknya. Senada dengan Gifford, Stokols dan Altman (1987 dalam Gunther, 2009) mendefinisikan EP sebagai studi mengenai perilaku manusia dan kesejahteraannya dalam hubungannya dengan lingkungan sosio-fisikalnya. Dalam perkembangannya, EP didefinisikan Moser (2006 dalam Gunther, 2009) sebagai hubungan resiprokal/timbal-balik antara individu (baik itu kelompok maupun komunitas) dengan lingkungan sosial dan fisiknya, termediasi melalui sajian sosial, yang belakangan dipahami sebagai pengalaman dan perilaku bersama. Akhir-akhir ini banyak penelitian mengenai EP yang diorientasikan pada perspektif ekologikal (Winkela et al, 2009), sama pula halnya yang terjadi di arsitektur yang bertujuan dasar untuk mencari cara untuk mengharmonisasikan kehidupan manusia dengan alam (lihat gambar 1).


Gambar 1. Hubungan antara Perilaku dan Lingkungan melalui variabel setting.

(Sumber: Gunther, 2009)

Brolin (1968) menganjurkan agar sebelum merancang sebuah kawasan, perancang hendaknya memperhatikan implikasi sosial dari lingkungan fisik eksisting. Meskipun mudah, namun tidak sedikit arsitek yang melewatkan aspek ini sehingga masalah yang timbul belakangan menjadi tanggung jawab pengguna. Secara profesional, sang arsitek mustinya yang paling bertanggung jawab dan hal tersebut dapat dihindari dengan melalukan observasi awal terhadap dampak sosial dan lingkungan serta indikator konflik. Observasi tersebut dapat dilakukan dengan; 1. melihat perilaku dan 2. melihat lingkungannya (Brolin, 1968). Dari sini dapat dilihat keterkaitan ilmu perancangan dengan ilmu perilaku yang saling bersinergi.

Dalam beberapa dasawarsa terakhir terlihat perkembangan signifikan dari keilmuan EP (lihat tabel 1). Keterkaitannya dengan bidang arsitektural sangat jelas terlihat dimana peranan studi psikologi lingkungan mencakup pemahaman mendalam yang harus dilakukan perancang dalam merancang rancangannya. Tidak hanya saat tahap perencanaan, namun melingkupi proses, hasil bahkan hingga tahap penggunaan hasil rancangan tersebut.

Tabel 1. Perkembangan studi mengenai lingkungan-perilaku


(Sumber: Giuliani dan Scopelliti, 2009)

Dalam bidang keilmuan EP, terdapat sinergi antara disiplin ilmu yang di dalamnya terdapat keterkaitan antara satu sama lain (lihat gambar 2). Oscar Niemeyer mengatakan bahwa tugas terberat dari arsitektur adalah membuat kebaikan. Arsitektur pun dalam tujuannya membawa ’kebaikan’ harusnya mengakui bahwa tanpa lingkungan, ia tak bisa berdiri sendiri. Untuk itu hendaknya merangkul semua disiplin untuk bersinergi sehingga sesuai dengan tuntutan dasar fungsi dari arsitektur itu sendiri yakni sebagai wadah berkegiatan manusia dapat tercapai secara tepat guna. Bagaimanapun juga, seperti yang dikatakan Kurt Lewin, yang seharusnya dilakukan saat ini yakni:

nothing would be so practical as a good integration of different theories’.

Sebab yang terpenting adalah bukan masalah teori mana yang akan kita pakai dalam menghadapi masalah lingkungan, namun yang lebih penting adalah pilihan anda untuk segera bertindak (Winter dan Koger, 2004 dalam Gunther, 2009), bertindak untuk segera menangani permasalahan dekadensi nilai dalam arsitektur itu sendiri.


Gambar 2. Hubungan multi-lateral dari berbagai bidang disiplin ilmu yang berbeda pada Environment-Behavior Studies dalam mempelajari hubungan antara lingkungan dan perilaku.

(Sumber: Gunther, 2009)

Referensi

Brolin, Brent C. and John Zeisel. 1968. Mass Housing: Social Research and Design. Architectural Forum, July/August 1968 diakses melalui situs resmi Brent C. Brolin pada 23 Maret 2009.

Brolin, Brent C. 1976. The Failure of Modern Architecture. NY: VNR.

Giuliani, Maria V. and Massimiliano Scopelliti. 2009. Empirical research in environmental psychology: Past, present, and future. Copyright © 2009 Elsevier diakses 20 April 2009.

Günther, Hartmut. 2009. The Environmental Psychology of Research. Journal of Environmental Psychology diakses 20 April 2009.

Winkela, Gary and Susan Saegerta and Gary W. Evansb. 2009. An ecological perspective on theory, methods, and analysis in environmental psychology: Advances and challenges. Copyright © 2009 Elsevier diakses 20 April 2009.